SURABAYA, Nusantaraabadinews.com – Pilkada Surabaya tahun ini menghadirkan dinamika baru dengan semakin kuatnya gerakan “kotak kosong” yang menjadi simbol perlawanan masyarakat terhadap dominasi politik. Eri Cahyadi, yang sebelumnya mendapat dukungan penuh dari hampir semua partai, kini menghadapi tantangan besar. Sejumlah kelompok masyarakat mulai mengungkapkan kekecewaannya dan menyuarakan penolakan terhadap calon tunggal dan rapat tersebut digelar di Hedon Estate, jalan Ngagel Timur, Pucang Sewu Surabaya, Minggu (6/10/2024)
Dr. David Andreasmito, seorang dokter gigi sekaligus pengusaha, menilai bahwa gelombang penolakan terhadap Eri Cahyadi kini sudah mencapai 85%, mencerminkan ketidakpuasan yang signifikan dari berbagai lapisan masyarakat. “Gerakan ‘kotak kosong’ yang menjadi alternatif tanpa kandidat kini kian meluas. Banyak tokoh yang dulunya mendukung Eri sekarang justru menyarankan masyarakat untuk mencoblos ‘kotak kosong’ sebagai bentuk protes,” ungkap David dalam pernyataannya pada Minggu (6/10).
David melihat gerakan ini sebagai simbol perlawanan terhadap politik yang dinilai tidak memberikan ruang bagi aspirasi publik. Ia bahkan menyebut, “Jika masyarakat benar-benar cinta dengan Eri, maka pilihlah ‘kotak kosong,’ karena itu adalah ciptaannya sendiri.”
Lebih lanjut, David juga menyoroti kekhawatiran terhadap penyelenggaraan pemilu yang dinilai tidak transparan. Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang tidak memberikan ruang bagi saksi dari pihak “kotak kosong” dipertanyakan oleh para pendukung gerakan ini. Menurutnya, tanpa pengawasan yang memadai, kecurangan dalam Pilkada 2024 akan semakin mudah terjadi, apalagi dengan adanya pengaruh besar dari pihak-pihak bermodal kuat, yang sering disebut sebagai “cukong.”
Heru Satrio, Ketua Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Korwil Jatim, menegaskan bahwa meskipun gerakan ini tidak terorganisir secara formal, dukungan terhadap “kotak kosong” terus menguat. “Kami sering berdiskusi secara informal, dan masyarakat mulai menunjukkan dukungan nyata terhadap gerakan ini,” kata Heru.
Salah satu rencana tak lazim yang muncul adalah menggelar kampanye di tempat-tempat seperti kuburan dan Taman Pahlawan, sebagai simbol perlawanan damai terhadap politik konvensional. “Ini adalah bentuk kreatif dari masyarakat untuk menunjukkan perlawanan mereka,” tambah Heru.
Menjelang hari pemilihan pada 27 November, masyarakat Surabaya dihadapkan pada pilihan menarik: mendukung calon tunggal atau memilih “kotak kosong” sebagai simbol protes. Terlepas dari segala kontroversi, gerakan “kotak kosong” telah menjadi fenomena unik dalam dinamika demokrasi lokal, dengan penolakan terhadap Eri Cahyadi yang terus menguat di berbagai lapisan masyarakat.
“Ini adalah momentum penting dalam perjalanan demokrasi di Surabaya, dan hasilnya nanti akan menjadi bukti apakah suara masyarakat benar-benar dihargai,” pungkas Heru. (Abie)