SURABAYA, Nusantaraabadinews – Seorang Advokat, Moch Fusthaathul Amri, yang juga pelapor dalam kasus dugaan pemalsuan surat, mengajukan permohonan praperadilan di Pengadilan Negeri Surabaya pada Senin (17/02/2025). Pemohon meminta agar penyidikan kasus yang dilaporkan ke Polrestabes Surabaya pada Laporan Polisi Nomor: LP/B/641/VII/RES.1.9/2020/JATIM/POLRESTABES dilanjutkan oleh pihak Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Timur, khususnya oleh Kabid Propam Polda Jatim.
Dalam permohonannya, pelapor meminta agar pengadilan memerintahkan Kepolisian Negara Republik Indonesia, Polda Jatim, dan Polrestabes Surabaya untuk melanjutkan penyidikan kasus tersebut yang sebelumnya dihentikan. Menurut pemohon, penghentian penyidikan tersebut tidak sah dan bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku.

Pemohon mempersoalkan penghentian penyidikan yang dilakukan terhadap laporan dugaan tindak pidana pemalsuan surat yang melibatkan sejumlah pihak, termasuk Nur Aini dkk. Para termohon dalam permohonan ini adalah Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Resort Probolinggo, dan turut termohon Kepala Polrestabes Surabaya.
“Memerintahkan Termohon I dan Termohon II untuk mengembalikan berkas perkara ke Polrestabes Surabaya guna proses penyidikan lanjutan,” ungkap Moch. Fusthaathul Amri, pelapor yang juga berstatus advokat, saat persidangan.
Lebih lanjut, pemohon menegaskan bahwa bukti-bukti yang telah diajukan telah memenuhi syarat minimal sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP. Ia juga menyatakan bahwa penghentian penyidikan yang dilakukan oleh pihak kepolisian adalah cacat hukum dan bertentangan dengan ketentuan yang ada.
Pemohon dalam proses praperadilan ini mengingatkan kepada pihak pengadilan bahwa penghentian penyidikan ini telah merugikan hak-hak pelapor. Berdasarkan Pasal 77 dan Pasal 80 KUHAP, seorang pelapor memiliki hak untuk mengajukan praperadilan apabila penyidikan dihentikan secara tidak sah. Selain itu, pelimpahan perkara tanpa pemberitahuan kepada pemohon juga dianggap sebagai bentuk pelanggaran prosedur yang sewenang-wenang.
Untuk memperkuat permohonan praperadilan ini, pemohon melampirkan dokumen-dokumen yang menunjukkan adanya kerugian hukum akibat penghentian penyidikan serta bukti-bukti yang telah disusun sesuai dengan ketentuan KUHAP. Dalam pasal-pasal yang relevan, Pemohon juga menekankan tentang pentingnya pengaturan mengenai tempat dan waktu terjadinya tindak pidana, serta teori-teori yang digunakan untuk menentukan locus delicti (tempat tindak pidana).
Sementara itu, Polda Jawa Timur menganggap bahwa locus delicti berada di Probolinggo, bukan Surabaya. Namun, pemohon mempertanyakan hal tersebut, mengingat adanya bukti berupa salinan putusan kasasi dari Pengadilan Tinggi Jawa Timur yang menyatakan sebaliknya.
Pemohon berharap agar pengadilan dapat mempertimbangkan bukti-bukti yang ada dan memutuskan agar penyidikan dilanjutkan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.(**)