SURABAYA, Nusantaraabadinews – Residivis Soen Hermawan bersama tiga terdakwa lainnya, yaitu Anita, Ponidi, dan Pandega Agung, harus menghadapi persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya atas kasus dugaan penipuan dan penggelapan yang merugikan Ir. Hadian Noercahyo dari PT. Bima Sempaja Abadi hingga Rp 28 miliar. Persidangan dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Sutrisno, sementara Jaksa Penuntut Umum (JPU) Estik Dilla Rahmawati dari Kejaksaan Negeri Tanjung Perak mengungkap berbagai fakta di balik kejahatan tersebut.
JPU Estik mengungkapkan bahwa kasus ini bermula ketika Soen Hermawan, selaku Direktur PT. Shun Gandara Satya, mengklaim memiliki proyek dengan PT. Varia Usaha Beton. Ia lantas mengajak investor untuk mendanai proyek tersebut. Ponidi, yang merupakan Komisaris PT. Artamas Trans Logistik, bersama Pandega Agung dan Anita kemudian terlibat dalam upaya mencari investor dengan modus proyek pengangkutan barang fiktif.

Pada 2018, Ponidi dan Pandega Agung meyakinkan Soen Hermawan bahwa mereka memiliki investor potensial, yakni Ir. Hadian Noercahyo dari PT. Bima Sempaja Abadi. Dalam pertemuan yang berlangsung di kantor PT. Arthamas Trans Logistik, mereka menjanjikan keuntungan 10% kepada Ir. Hadian jika bersedia memberikan modal.
Untuk lebih meyakinkan korban, terdakwa mengajak Ir. Hadian berkunjung ke pabrik PT. Varia Usaha Beton di Gresik. Di lokasi, Soen Hermawan berpura-pura sebagai Slamet Bagio, pegawai dari PT. Varia Usaha Beton, guna memperkuat kebohongan bahwa proyek ini benar-benar ada.
Tak berhenti di situ, para terdakwa bahkan menyusun surat perjanjian kerja sama palsu yang ditandatangani oleh Anita, padahal PT. Arthamas Trans Logistik sebenarnya tidak memiliki kerja sama dengan PT. Varia Usaha Beton. Untuk lebih meyakinkan Ir. Hadian, Pandega Agung menciptakan laporan pemuatan harian dan dokumentasi palsu, seolah-olah proyek sedang berjalan.
Sebagai bagian dari skema ini, tagihan dan invoice fiktif dikirimkan ke PT. Bima Sempaja Abadi untuk mendapatkan transfer dana. Hasilnya, PT. Bima Sempaja Abadi menggelontorkan dana sebesar Rp 100,7 miliar melalui tiga rekening berbeda.
Dari dana yang diterima, Pandega Agung mengambil keuntungan 4%, sementara sisanya ditransfer ke rekening PT. Arthamas Trans Logistik yang dikelola Anita dan Ponidi. Untuk semakin menutupi jejak, terdakwa melakukan transfer balik ke PT. Bima Sempaja Abadi, seolah-olah sebagai pembayaran proyek.
Namun, dari total dana yang dikelola Anita dan Ponidi, sebesar Rp 27,1 miliar justru dialirkan ke rekening Soen Hermawan, yang kemudian memindahkannya ke rekening PT. Shan Gandara Satya. Untuk lebih meyakinkan korban, cek pembayaran dikirimkan kepada Ir. Hadian Noercahyo sebagai pengembalian investasi. Namun, ketika dicairkan, cek tersebut ditolak oleh bank karena saldo tidak mencukupi.
Saat Ir. Hadian melakukan pengecekan lebih lanjut, barulah ia menyadari bahwa proyek pengangkutan beton ini sama sekali tidak pernah ada.
Atas perbuatannya, Soen Hermawan, Anita, Ponidi, dan Pandega Agung didakwa dengan Pasal 378 KUHP juncto Pasal 372 KUHP serta Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Mereka dianggap secara bersama-sama melakukan serangkaian kebohongan dengan menyertakan nama palsu untuk menipu Ir. Hadian Noercahyo.
Sementara itu, kuasa hukum para terdakwa, khususnya Anita, Ponidi, dan Pandega Agung, mengajukan nota keberatan atau eksepsi terhadap dakwaan JPU.
Kasus ini menjadi pelajaran bagi para investor agar lebih berhati-hati dalam menanamkan modal dan selalu melakukan verifikasi menyeluruh sebelum terlibat dalam perjanjian bisnis.(**)