SURABAYA, Nusantaraabadinews – Sidang lanjutan kasus dugaan penipuan dan penggelapan yang menyeret empat terdakwa, yakni Anita, Ponidi, Pandega Agung, dan Soen Hermawan, kembali digelar di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya. Kasus ini menyebabkan kerugian sebesar Rp 27 miliar terhadap PT Bima Sempaja Abadi.
Dalam persidangan, tiga terdakwa, yakni Anita, Ponidi, dan Pandega Agung, mengajukan nota keberatan atau eksepsi. Mereka berargumen bahwa perkara ini bukan ranah pidana, melainkan perdata, karena telah ada putusan dari PN Surabaya yang menyatakan hal tersebut.

Heru Krisbianto, SH., MH., selaku kuasa hukum terdakwa Pandega Agung, menegaskan bahwa perkara ini telah diputus sebagai wanprestasi dalam Putusan Nomor 558/Pdt.G/2023/PN.Sby tanggal 6 Desember 2023, yang kemudian dikuatkan oleh Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya Nomor 91/PDT/2024/PT.SBY tanggal 27 Februari 2024.
“Putusan ini jelas menyatakan bahwa kasus ini adalah perkara perdata, bukan pidana. Dalam putusan tersebut, PT Arthamas Trans Logistik—di mana terdakwa Anita dan Ponidi sebagai pengurus—dinyatakan telah wanprestasi,” ungkap Heru Krisbianto dalam persidangan.
Lebih lanjut, Heru menegaskan bahwa kliennya, Pandega Agung, yang dalam perkara perdata tercatat sebagai Tergugat V, tidak disebut dalam putusan sebagai pihak yang harus bertanggung jawab atas kerugian yang dialami penggugat atau pelapor dalam kasus pidana ini.
Dalam eksepsinya, Heru menegaskan bahwa PN Surabaya tidak berwenang mengadili perkara ini karena sudah diputus dalam ranah perdata. Ia meminta majelis hakim untuk menjatuhkan putusan sela dengan amar putusan:
Menerima eksepsi kuasa hukum Pandega Agung secara keseluruhan.
Menyatakan PN Surabaya tidak berwenang memeriksa perkara ini.
Menyatakan dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) batal demi hukum.
Membebaskan Pandega Agung dari segala dakwaan dan memulihkan haknya.
Membebankan biaya perkara kepada negara.
Sementara itu, kuasa hukum Pandega Agung lainnya, Erna Wahyuningsih, SH., MH., menyatakan bahwa kliennya justru menjadi korban dalam kasus ini.
“Klien kami juga korban dari perbuatan terdakwa Anita, Ponidi, dan Soen Hermawan. Itu sudah jelas dalam gugatan wanprestasi yang diajukan PT Bima Sempaja Abadi. Yang dirugikan bukan Ir. Hadian Noercahyo, tetapi perusahaan,” tegas Erna.
Ia juga menambahkan bahwa dalam putusan gugatan wanprestasi, Pandega Agung tidak mendapat sanksi denda atau penggantian, yang berarti kliennya tidak terbukti bersalah dalam perdata.
Di sisi lain, JPU dalam dakwaannya menyebutkan bahwa keempat terdakwa, yakni Anita, Ponidi, Pandega Agung, dan Soen Hermawan, diduga melakukan serangkaian tipu muslihat dan kebohongan. Mereka disebut menggunakan nama palsu untuk meyakinkan saksi Ir. Hadian Noercahyono agar menyerahkan uang sebagai investasi dalam kerja sama antara PT Arthamas Trans Logistik dan PT Varia Usaha Beton, yang ternyata fiktif.
Akibat perbuatan para terdakwa, PT Bima Sempaja Abadi mengalami kerugian sebesar Rp 27,1 miliar. Mereka pun didakwa dengan Pasal 378 KUHP jo Pasal 372 KUHP jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP tentang penipuan dan penggelapan.
Sidang akan berlanjut dengan agenda putusan sela dari majelis hakim. Jika eksepsi diterima, maka dakwaan JPU bisa batal demi hukum, dan Pandega Agung bisa terbebas dari tuntutan pidana. Namun, jika ditolak, maka sidang akan berlanjut ke tahap pembuktian.
Kasus ini pun menjadi ujian bagi sistem hukum Indonesia dalam menentukan batasan antara perkara pidana dan perdata. Apakah ini benar kasus wanprestasi yang sudah selesai di pengadilan perdata, atau memang ada unsur pidana yang harus diusut lebih lanjut.(**)